Senin, 15 Oktober 2012

ASAL – USUL ARIA BANJAR GETAS



Dalam Babad Arya Gajah Para, ditemukan nama Arya Getas, yang merupakan keturunan kelima dari Sri Kameswara, ayah dari Sri Tunggul Ametung, dengan runutan sebagai berikut; Sri Kameswara berputra empat orang yakni Sri Kerta Dharma, Sri Tunggul Ametung, Dewi Ghori Puspa dan Sri Airlangga. Sri Airlangga kemudian menurunkan Sri Jayabaya dan Sri Jayabasha. Sri Jaya Baya memiliki tiga orang putera yakni Sri Dangdang Gendis, Sri Jayakatong dan Sri Jayakatha. Selanjutnya dari Sri Jayakatha menurunkan tiga orang anak yakni Arya Wayahan Dalem Menyeneng, Arya Katnagaran dan Arya Nudhata. Dari turunan inilah kemudian menurunkan Arya Gajah Para dan Arya Getas yang kemudian di dalam babad Arya Gajah Para disebutkan setelah kembali dari Jawa, menetap hingga memiliki keturunan 3 (tiga) orang, oleh raja Gelgel kemudian Arya Getas diperintahkan menyerang Seleparang.
Jika merunut dari geneologi raja-raja Singasari-Majapahit maka keturunan ke empat (kelima dari orang tua Tunggul Ametung) yang setara dengan Arya Getas adalah Jayanegara dengan angka tahun saka (1231-1250/1309-1389 M) Jafar (2009: Lampiran II).
Dalam keterangan sejarah, ketika abad ke-14 yakni masa pemerintahan Raja Hayamuruk, memang terdapat informasi bahwa sekembalinya dari sebuah pertemuan dengan raja-raja se Nusantara di kerajaan Majapahit, Raja Gelgel di berikan 40 orang pakadan (orang biasa) yang beragama Islam. Oleh raja Hayamuruk. Oleh raja, orang-orang tersebut selanjutnya ditempatkan di Desa Gelgel (Wawancara dengan tokoh agama Islam Desa Gelgel dan dr. Tjokorda Ratu Putra dari Puri Kelungkung, Dalam acara TVRI (Gema Azan Berkumandang di Desa Gelgel), direkam pada tanggal 21 Agustus 2009). Apakah Arya Getas adalah salah satu yang ikut diantara 40 orang yang kini menurunkan warga Desa Gelgel, tentu hal ini memerlukan penelitian lebih jauh.
Dari sumber yang termuat dalam babad Arya Gajah Para, ada beberapa hal yang perlu untuk diperjelas. Masa sebagaimana perkiraan tahun yang dibuat berdasarkan urutan geneologi merujuk pada genealogi raja Singasari-Majapahit menunjukkan bahwa masa Arya Getas dalam Babad tersebut adalah sekitar abad ke 14, sementara keruntuhan Pejanggik dan Seleparang yang melibatkan ABG terjadi antara tahun 1722-1725.
Sumber lain, dikemukakan oleh Agung , yang sepertinya merujuk kepada Babad Arya Gajah Para “Treh dari Arya Gajah Para (Arya Getas-pen-) di Bali. Keberadaannya di Lombok ialah menjadi telik tanem (mata-mata) raja Bali (dalem) Gelgel untuk mengetahui keadaan dan perkembangan di Lombok (dalam Azhar, 2003:22).
Bagaimanapun rancunya keterangan mengenai sosok ABG, yang perlu menjadi catatan adalah, kehadiran ABG dalam catatan sejarah Lombok kemudian menjadi langkah awal bagi keberhasilan Bali mencengkramkan penjajahannya hingga hampir dua abad di Lombok, bahkan dalam banyak hal, telah memasukkan juga unsur-unsur kebudayaannya dalam tradisi masyarakat Lombok semisal pembagian kasta dan ritual perkawinan (dari melaik, sorong serah aji karma), bentuk pakaian ada dan sebagainya. Dengan demikian, perlu kiranya untuk segera melirik kembali masa lalu guna meninjau apa saja yang masih tersisa dan apa saja yang merupakan adopsi dan adaptasi dalam kebudayaan sasak yang berkembang di Lombok saat ini, dengan demikian, segala persoalan baik keterbelakangan ekonomi, pendidikan, pertentangan internal etnis sasak dan beragam persoalan lain yang menghimpit generasi Sasak saat ini bisa dirunut akar persoalannya untuk kemudian secara bersama menatap masa depan dengan lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar